Sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir tentunya saya harus rajin-rajin mengunjungi perpustakaan dan membaca banyak buku untuk referensi menulis skripsi. Akan tetapi tentu sangat tidak pas kalau saya katakan demikian, sebenarnya membaca buku adalah sebuah rutinitas yang tidak hanya dilakukan ketika menjelang mengerjakan skripsi. Membaca adalah bagian yang tak terpisahkan dalam waktu sehingga dalam sehari seharusnya ada bacaan yang telah terbaca tanpa menunggu sebuah keperluan untuk membaca. Begitu juga dengan menulis, antara membaca dan menulis adalah dua hal yang tak terpisahkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Menulis untuk peradaban. Kata-kata inilah yang sering saya dengungkan dan share kepada teman-teman saya. Bahkan tulisan-tulisan di blog-blog saya tidak lepas dari deratan kalimat ini. Bagi saya menulis adalah cara terbaik untuk menyulam pemikiran yang tercerai berai kedalam sebuah ikatan yang kuat. Menulis bukan hanya sebuah aktifitas remeh, namun jika kita mau memahami lebih dalam, menulis merupakan sebuah entitas dari peradaban. Lebih tepatnya adalah sebuah manifestasi ide-ide yang mengikat simpul-simpul peradaban.
Kalau kita mau menengok sejarah umat masa lalu, akan kita dapati bahwa sebuah bangsa yang besar pasti mempunyai sebuah karya besar dan untuk mempunyai sebuah karya yang besar pasti mempunyai peradaban yang besar pula. Sebuah karya besar yang dicatat oleh sejarah tidak akan dihasilkan oleh peradaban yang kecil. Sebut saja peradaban kuno yang sangat maju, yaitu peradaban Yunani. Mereka maju bukan hanya mempunyai kekuatan yang hebat, tetapi juga mempunyai karya-karya melalui para filosof mereka yang brilian. Ide-ide dan pemikiran-pemikiran mereka dituangkan dalam sebuah karya besar. Lihatlah, mereka mempunyai sebuah karya berupa ide-ide yang mereka rumuskan.
Sebagai seorang muslim yang berkecimpung dalam dunia akademis, sudah menjadi sebuah keharusan bagi kita mengasah kamampuan kita dalam menulis. Bahkan jauh-jauh hari seorang ulama besar sekaligus pendiri mazhab syafi’iyyah yaitu al-allamah imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan
العِلمُ صَيدٌ والكِتابةُ قَيدُهُ — قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الوَاثِقَةِ
فَمِن الحَماقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزالَةً — وتَترُكها بَينَ الخَلائِقِ طالِقةَ
Ilmu laksana hewan buruan dan tulisan adalah tali pengikatnya
Ikatlah hewan buruanmu dengan tali pengikat yang kuat
Diantara bentuk kebodohan adalah jika engkau memburu rusa
Engkau tinggalkan buruanmu tersebut bebas (tanpa diikat).
Imam asy-Syafi’i tahu bahwa menulis adalah cara yang ampuh untuk mengikat ilmu. Sedangkan ilmu adalah kuncinya peradaban, oleh karena itu tidak salah bila saya dengan sadar mengatakan bahwa menulis adalah sebuah manifestasi ide-ide yang mengikat simpul-simpul peradaban. Mari kita gelorakan bersama budaya menulis dengan membuat tulisan minimal sehari satu tulisan. Langkah Berdebu