“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
(AlIsra(17):24)
Ahsan. Seorang ikhwan beridealisme tinggi. Jabatannya dikampus menyita waktu dan hari-harinya. Dakwah fisabilillah. Ia teringat betul bagaimana kisah awalnya berniat melangkahkan kaki di Yogyakarta.
“Jangan kau sia-siakan menuntut ilmumu. Jauhilah kesia-siaan. Kau adalah laki-laki dambaan Abi. Berhati-hatilah dengan hatimu. Jangan pernah tergelincir akan berfoya-foya, cinta dan wanita. Habislah kau jika terperangkap olehnya.” Saran Abi.
Ahsan Asyraf Ramadhan adalah seorang presiden mahasiswa terkenal sebagai mahasiswa soleh dan cerdas. Pribadi Umar bin Khattab ia warisi dalam ketangguhannya. Pribadi Abu Bakar yang bijaksana persis seperti perangainya. Pribadi Utsman dan Ali bin Abi Thalib melekat dalam sanubarinya. Siapa lagi kalau bukan idolanya adalah tauladan
paling agung dimuka bumi ini. MIM. Muhammad.
Hari itu, rapat untuk mengadakan converensi terbesar di Indonesia akan dilaksanakan dikampus kesayangannya. UMY. Rapat bersama jajaran panitia tertinggi di kampus menyita waktunya untuk benar-benar fokus pada pekerjaannya. Alhamdulillahnya, semua mata kuliahnya free hari itu. Walaupun menjadi presma ia tak pernah absen dengan kuliah. Ia jadi teringat pesan uminya.
“Kuliah itu nomor satu! umi punya ksatria yang tangguh yang harus diingatkan selalu. Presiden mahasiswa hanya wadah kedua untukmu belajar menjadi presiden sesungguhnya. Umi yakin anak umi bisa menyeimbangkannya.” Saran Umi.
Ahsan tersenyum.
“Hey pak presiden, ada apa? Kenapa kau tersenyum seperti itu? Siapakah gerangan wanita yang membuatmu tersipu seperti itu?” Tegur Gagah salah satu panitia conferensi.
“Ia adalah wanita hebat sepanjang masa. Aku hanya teringat sepotong episodeku bersamanya.” Jelas Ahsan.
“Beruntung sekali wanita itu, masuk dalam pikiran seorang pemuda tampan, soleh dan cerdas seperti antum.”
“Hahaha… antum begitu berlebihan memuji ane. Jelas saja, tak ada jasa yang bisaku berikan untuk balasan terbaik yang telah ia berikan kepadaku atas semua ketulusan, kebaikannya selama ini kecuali doa anak soleh untuk orang tuanya.”
“Alamaakkk… umimu yang kau maksud?” Ujar Gagah terkejut.
Ahsan mengangguk.
Hapenya bergetar lebh dari lima kali namun pada getaran kelima baru ia rasakan. ABI.
“Assalamu’alaikum. Nak, pulanglah kerumah hari ini. Minta izin dosenmu dan tinggalkan semua amanah hari ini juga.” Ujar Abi tanpa basa-basi.
“Wa’alaikummussalam. Ada apa bi?”
“Anak Abi adalah kstaria tangguh. Tak akan rapuh mendengar berita ini. Umimu telah tiada.”
Suara yang berusan keluar seakan-akan telah memutuskan urat nadi sang presma, mengeluarkan kilat yang menyambar hatinya hingga kesanubari. Samurai pedang yang berkilauan berhasil menyibak-nyibak jiwanya. Ia lemah tersunggkur di lantai. Air mata dari laki-laki tangguh ini merembes keluar. Tak ada bait kata keluar untuk mengusir kerasnya badai yang datang. Ia linglung dengan apa yang ia dengar. Ia tak tahu apa yang dirasa. Bidadari, guru besar, tempat ia mengadu, tempat ia berbagi, alarmnya sepanjang episode telah tiada.
“Ya Rabbi, Kau anugerahkan aku seorang ibu, kau titipkan aku pada rahim perempuan solih, dengan kasih sayangnya aku dibimbingnya, dididiknya menjadi anak yang soleh, mengenal Engkau dan kekasihMu. Tak pernah aku dituntut tagihan atas semua jasa yang ia keluarkan untuk mendidikku. Siapa lagi malaikat dunia ini jika ia telah kau ambil.”
“Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapak…” (QS. Al-An’am 151).