Oleh : Dewi Casmita
Usroh : Mariyah Al-Qibtiyah
Islam memberikan ruang dan dimensi bagi perempuan untuk berperan bagi bangsa dan agamanya. Peran itu berupa pengangkatan harkat dan derajat perempuan di ruang publik, di mana eksistensi mereka tidak lagi dikekang. Posisi perempuan dalam kehidupan sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, pada dasarnya, setara dengan laki-laki. Hal ini disimbolkan dengan ungkapan manusia diciptakan “berpasangan” yang mengandung makna implisit yakni kesetaraan dalam ruang sosial.
Islam Mengangkat Derajat Kaum Perempuan
Perempuan, setelah diangkat martabatnya memiliki hak dan peran besar untuk mengembangkan masyarakat. Hal itu bisa kita tilik pada sejarah awal perkembangan peradaban Islam. Istri Nabi, Guru para generasi Tabi’in (kibar al-tabi’iin), Aisyah Ra merupakan gambaran atau contoh diakuinya eksistensi dan peran perempuan dalam masyarakat. Pada generasi Islam ke-2, sejarah menampilkan aksi-aksi kaum perempuan di ranah publik. Sebut saja, Rabi’ah al-‘Adawiyah (Guru Sufi), SayyidahNafisah (sahabat sekaligus guru Imam al-Syafi’i).
Peran perempuan dalam pendidikan pun menentukan peradaban suatu bangsa dan agama. Lewat pengajaran ilmu-ilmu agama umat bisa memahami, meyakini, dan mengamalkannya. Di antara banyaknya cendekiawan tentu ada segilintir kaum perempuan yang ikut dalam mengembangkan dan mencerdaskan umat dan bangsa. Adanya pengakuan posisi dan peran perempuan baik oleh nash-nash Islam, ataupun dalam sejarah, mendorong para founding father bangsa untuk menerjemahkan peran tersebut dalam UUD 1945 dengan tujuan “mencerdaskankehidupanbangsa”.
Pendidikan berawal dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga. Nah, dari sini kemudian perempuan bisa mengembangkan pendidikannya dengan menempuh jalur pendidikan formal atau nonformal. Di sisi lain, langkah ini bergandengan dengan peran pengajaran yang bisa ditransfer kepada masyarakat.
Pahlawan Perempuan di Indonesia
Dalam berbagai permasalahan pendidikan, tidak dapat dipungkiri betapa dibutuhkannya kontribusi perempuan. Sebut saja, pendidikan tentang fikih perempuan. Pada kondisi ini, pengajar yang paling tepat tentulah perempuan. Dalam konteks sejarah pergerakan nasional, nama Dewi Sartika tidak lebih dikenal dibandingkan Kartini karena nama ini ada dalam sejarah “resmi”. Lewat Pramoedya-lah Dewi Sartika ditampilkan-balik sebagai pejuang bagi kalangan perempuan di ranah publik, khususnya pendidikan. Nama lain yang tak asing, Nyai Hj. Siti Walidah, Istri KH. Ahmad Dahlan, juga menjadi contoh tepat untuk menunjukkan pergerakan kaum perempuan di bidang pendidikan.
Washilah (perantara) yang baik sama nilainya dengan maqsha (tujuan). Harus diakui bahwa lewat pemberian sarana itulah kita bisa memberikan ruang gerak yang luas untuk kaum perempuan, terutama dalam bidang pendidikan. Pada sisi lain, pengembangan intelegensi perempuan merupakan syarat tersendiri bagi mereka agar bisa menyuarakan hak-haknya. Karena pada dasarnya perempuanlah yang bisa berbicara, mempresentasikan keperempuanannya. Pemberian peran memiliki signifikansi kepada perempuan yang mampu menghilangkan jurang perbedaan peran di kehidupan masyarakat.