Kajian Minggu Ini

Bagaimana Allah Mencintai Hamba-Nya?

Tidak pernah saya ‘bosan’ untuk selalu berwasiat, baik bagi diri saya maupun bagi semua yang bisa saya temui di mana pun, agar kita selalu meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena iman dan taqwa adalah sebaik-baik bekal di dalam meraih kebahagian hidup di dunia maupun akhirat.

Allah berfirman,

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Āli ‘Imrân/3: 31)

Sebagaimana kita tahu, sangat banyak buku-buku agama bertebaran, entah itu di perpustakaan, toko-toko, atau rak-rak buku, mengajarkan kita bagaimana kiat dan cara kita mencintai Allah. Semuanya berbicara tentang bagaimana cara kita mencintai Allah, atau bagaimana seorang hamba berusaha untuk mencintai tuhannya Yang Maha Tinggi? Jika ada seorang rakyat jelata yang menghormati rajanya yang besar dan agung, itu merupakan hal yang biasa dan tidak aneh! Tetapi coba kita lihat, kalau ada orang yang derajatnya lebih tinggi mencintai orang yang martabatnya lebih rendah, itu adalah hal yang langka!

Karenanya pada kesempatan kali ini, perlu disampaikan hal yang agak berbeda (barangkali), yaitu bagaimana Allah mencintai hambanya? Mungkin seseorang bertanya atau merasa aneh: “mungkinkah Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Tinggi mau mencintai diri kita yang hanya sebagai seorang makhluk? Lalu apa ‘sih’ istimewanya, kalau
Allah mencintai diri kita?

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya apabila Allah mencintai seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril seraya berseru: ‘Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan. Oleh karena itu, cintailah ia! ‘ Rasulullah bersabda: ‘Akhirnya orang tersebut pun
dicintai Jibril. Setelah itu, Jibril berseru di atas langit; ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan. OIeh karena itu, cintailah ia! ‘ Kemudian para penghuni langit pun mulai mencintainya pula.’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setelah itu para penghuni bumi juga mencintainya.’ Sebaliknya, apabila Allah membenci seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril dan berseru kepadanya: ‘Sesungguhnya Aku membenci si fulan. Oleh karena itu, bencilah ia.’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lalu malaikat Jibril berseru di langit; ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan. OIeh karena itu, bencilah ia!”Kemudian para penghuni langit membencinya. Setelah itu para penghuni dan penduduk bumi juga membencinya.” (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a., Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 40, hadits no. 6873)

Mâsyâallâh! Lihatlah cinta Allah! Bagaimana Allah ‘mengumumkan’ cintanya kepada semua makhluknya? Ketika kita telusuri makna hadis ini, bagaimana Allah mencintai seseorang, pernahkah terbetik didalam hati kita, jika ada salah seorang yang hadir di majelis mulia ini termasuk ‘orang-orang yang dicintai Allah’?

Ketika Allah SWT mencintai hambanya, Allah yang Maha Tinggi tidak hanya cukup mengatakan ‘Aku Cinta Kepada Orang Ini’! Tetapi Allah mengumumkan kepada seluruh makhluk-Nya!

Apa ‘firman’ Allah tersebut?

“Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia, lalu jibril pun mengumumkannya kepada seluruh makhluk di langit!”

“Maka Jibril pun mengumumkan kepada seluruh penduduk langit, para malaikat, para nabi, para wali Allah dari kalangan jin dan manusia, “Sesungguhnya Allah telah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua! Kemudian
orang itu pun menjadi dicintai segenap makhluk Allah di muka bumi ini.”

Jika seseorang telah dicintai oleh Allah, maka hidup ini terasa tenang, damai, dan tentram penuh kasih sayang, perlindungan dan rahmat-Nya Ta’ala. Apa yang diminta akan diberi, apa yang diinginkan akan terkabul. Segala kebutuhannya akan dipenuhi, dan di akhirat mendapatkan ridha dan perlindungan-Nya dari siksa api neraka.

Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT, berfirman:

“Orang yang telah menjadi kekasih-Ku, maka aku akan selalu siap membantunya” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qurân, juz VI, hal. 135; Selanjutnya lihat: Hadits Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., Shahîh al-Bukhâriy, juz
VIII, hal. 131, hadits no. 6502)

Siapakah ‘Wali atau Kekasih Allah’ itu?

“Ketahuilah sesungguhnya para waliyullah tidak merasa takut dan sedih, mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa”. (QS Yûnus/10: 62)

Lalu Allah melanjutkan firman-Nya di dalam Hadis Qudsi tersebut:

“Allah berfirman; Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan, jika hamba-Ku terus
menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan
tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang
Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 131, hadits no. 6502)

Melalui Hadis Qudsi ini, kita bisa memahami bahwa seorang hamba yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT adalah seorang hamba yang mampu memadukan antara suatu kewajiban (fara`idh) dengan amalan sunnah (nawafil) . Tidak ada artinya amalan sunnah, atau ibadah-ibadah yang sifatnya sekunder di saat hal-hal yang lebih wajib ditinggalkan. Kita
mengerjakan shalat sunnah Dhuha atau shalat Qobliyah dan Ba’diyah misalkan, tetapi harus juga dengan tidak meninggalkan kewajiban shalat yang lima waktu yang fardhu. Kita menunaikan haji ke Baitullah untuk yang
ke sekian kalinya, tetapi juga harus dengan melihat apakah orang-orang miskin disekeliling kita sudah tercukupi semua. Jangan sampai kita selalu melaksanakan ibadah sunnah yang dianjurkan oleh baginda Rasulullah Saw, tetapi kita tidak menjaga tali silaturrahmi yang wajib.

Di saat kita bisa memadukan atau mengerjakan antara amalan-amalan yang wajib dan sunnah, maka di saat itulah seorang manusia menjadi lebih istimewa di hadapan Allah SWT. Namun yang perlu untuk selalu kita ingat adalah, bahwa ibadah itu bukan hanya sebatas kepada Allah, terlebih kepada makhluk-Nya di dlam berbuat baik. Dan mesti pula harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan dalam mengerjakannya. Tanpa keimanan dan keikhlasan, maka semua itu akan hampa, tiada artinya.

Berkaitan dengan betapa Allah SWT sangat mencintai kita manusia sebagai hambanya, ada sebuah hadis yang sering kita dengar yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah r.a.:

“Jika telah lewat tengah malam atau sepertiga malam yang akhir, Allah Yang Maha Mulia dan Agung turun kelangit yang paling rendah (langit dunia), lalu berkata: Adakah orang yang meminta kepada-Ku saat ini, pasti akan aku beri, adakah orang yang memohon ampun, pasti aku ampuni, adakah orang yang bertaubat, pasti aku berikan taubat-Ku, adakah orang yang memerlukan-Ku, pasti akan aku penuhi.” Dan itu terjadi setiap malam hingga terbit fajar”. (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah r.a., Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 433, hadits no. 9589)

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita menyembah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT hanya atas dasar cinta kita kepada-Nya, bukan dilandasi oleh rasa takut atas murka dan siksanya, walaupun hal itu juga tidak buruk. Karena Allah juga sangat mencintai kita, bahkan dalam banyak ayat Alquran selalu diawali dengan kasih sayang-Nya terlebih dahulu, seperti
firmannya:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54)

Terakhir, Rasulullah SAW bersabda:

“Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya: Imam yang adil, pemuda yang rajin beribadah, seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai, bertemu dan berpisah hanya karena Allah, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah, seorang yang menyembunyikan sedekahnya tidak ingin dilihat orang, dan seorang yang mengingat Allah dalam keheningan hingga menitikkan airmata.” (Hadits Riwayat al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 168, hadits no. 660 dan Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz III, hal. 93, hadits no. 2427, dari Abu Hurairah r.a.).

Mari kita bertanya kepada diri kita: “Sudah kita mendapatkan cinta Allah dengan indikator-indikator tersebut?” Kalau jawabnya: “belum”, marilah kita segera berbenah diri untuk mendapatkannya dengan persyaratan yang kita butuhkan untuknya.

Ibda’ bi nafsik (Mulailah dari dirimu sediri)!

 

Oleh: Drs. Muhsin Hariyanto, M.Ag

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.